Tuesday, July 10, 2012

Cerita Anak Badai

Pagi itu sekitar jam 09.34, terlihat seorang wanita muda melihat-lihat rumah yang sudah kosong. Aku memperhatikannya dari jauh. Agaknya aku sangat mengenal wanita itu. Tapi siapa? Rumah itu adalah rumah ibuku satu-satunya harta warisan ayahku. Namaku Dian. Aku seorang dokter yang membuka praktek 24 jam di rumahku. Dan tepat bersebelahan dengan rumahku adalah rumah adikku Nuri. Ia adalah seorang guru. Sebenarnya Ia keberatan menjadi guru. Tapi, karna sesuatu hal, Nuri melaksanakan pekerjaannya sebagai guru. Sebenarnya menjalani profesi kami sebagai dokter dan guru adalah didikan dari ibu kami. Aku, Nuri dan Nita besar dalam keadaan yatim karna ayah kami meninggal saat kami masih kecil. Ayah kami seorang nahkoda kapal dan kapalnya terhempas badai malam itu. Semenjak itu kami adalah yatim dan ibu yang mengurus kami, mendid
ik, dan mengatur hidup bahkan langkah kami pun ibu yang mengaturnya. Skenario hidup kami nyaris berada di tangan ibu.
Aku dan Nuri selalu menuruti apa yang di perintah ibu. Ya, ibu yang kami patuhi di dalam rumah. Selagi itu tidak menyalahi ketentuan Tuhan, Aku dan Nuri selalu menuruti apa yang di atur oleh ibu. Ibu pun tak pernah menyuruh kami untuk berbuat yang melanggar ketentuan Tuhan. Mungkin ibu lebih paham dalam menjalani hidup.
Suatu hari di dalam rumah besar kami terjadi pertengkaran hebat antara ibu dan Nita adikku. Waktu itu aku baru pulang kuliah, rumah berantakan, pecahan guci kesayangan ibu berserakan dimana-mana. Kemana Nuri adik kecilku? Ah, mungkin dia sembunyi di bawah meja makan belakang karna takut melihat drama pertengkaran hebat ini. Aku kurang tahu apa yang di pertengkari oleh mereka. Memang adikku yang satu ini sedikit keras kepala. Nita memang anak yang penurut. Tapi dalam masalah cita-cita, dia tidak bisa diatur. Aku melihat jelas Nita yang duduk di kursi singgahsana ibu, sedang dimarahi oleh ibu. “kamu Nita, selesai semua administrasi ijazah akan ibu berangkatkan kamu ke sekolah pendidikan. Kamu harus jadi guru. Karna guru adalah pekerjaan mulia”, ibu berbicara keras sekali dekat dengan wajah Nita. Akan tetapi Nita sama sekali menghiraukan apa yang di ucapkan oleh ibu.Aku tidak memperhatikan betul peristiwa itu. Tapi sekilas aku melihat Nita menuju kamar, kemudian keluar membawa tas ransel nya. Dan semenjak itu aku tak melihatnya lagi. Kami kehilangan stu teman dalam rumah.
Entah dimana dia sekarang, mungkin dia sekarang telah menjadi lebih sukses dari kami. Atau mungkin dia telah menjadi binatang jalang yang berkeliaran hanya untuk menyusahkan banyak orang. Atau mungkin lagi dia telah mati. Sampai sekarang aku dan Nuri tidak tau dimana keberadaannya. Hampir delapan tahun dia pergi tidak memberi kabar. Sampai-sampai kami pun tidak bisa memberi tahunya akan meninggalnya ibu tercinta kami yang sibuk menyebut-nyebut namanya. Dadaku sesak sekali saat itu bercampur geram dan kecewa. Bagaimana tidak, Nita yang telah durhaka padanya masih sibuk ia sebut-sebut namanya dan lagi Nita pun tidak hadir menyaksikan bagaimana ibu sangat merindukannya. Hah, entahlah. Sampai sekarang aku dan Nuri adikku masih menunggu kehadirannya pulang. Ada banyak hal yang harus aku sampaikan dan aku ceritakan padanya, dirumah ini.
Aku memanggil Nuri, “Nuri…” teriakku.
“iya kak….” Terdengar suaranya menyahutku sambil berlari dari dapur lewat pintu samping. Agaknya Nuri sedang masak. “ada apa kak?” sambil mendekatiku. “coba kau lihat wanita yang berdiri di depan rumah ibu…” sambil menunjuk jari kearah wanita itu.
“Siapa dia kak?” matanya tertuju pada wanita itu.
“kakak juga tidak tahu siapa dia… mungkin dia ingin membeli rumah ibu…” kataku, sambil terus mengawasi wanita misterius itu. “tapi kan kak, rumah ibu tidak di jual. Rumah itu kan untuk kak Nita…” Nuri kembali mengingatkan.
“hah, dia takkan mungkin pulang. Sudah bosan aku berdiri di tepi pagar ini menunggunya pulang. Tapi sampai sekarang dia tidak muncul. Jejaknya pun sudah terhapus binasa oleh debu jalanan”. Eluhku dalam hati.
“jangan lupa pesan ibu kak…” adikku kembali mengingatkanku. Dan aku pun diam.
Kemudian terdengar sangat jelas wanita asing itu meneriakkan suara yang memanggil namaku dan adikku ini. Aku dan Nuri sentak terkejut mendengarnya. Hati kami bertanya-tanya, siapa sebenarnya wanita itu. Akhirnya aku dan Nuri memberanikan diri untuk menyapa wanita itu dari dekat. Ya, kami mendekatinya.
“maaf mbak, anda siapa?” aku mulai menyapanya.
Ia heran melihat kami. Kami diperhatikannya sangat dalam. Tatapan matanya tajam, sampai-sampai aku tertunduk kepala tak mampu membalas tatapannya.
“hmh… maaf mbak, saya mau tanya. Sudah berapa lama rumah ini kosong?” ia bertanya padaku.
“sudah hampir tujuh tahun rumah ini kosong mbak… ada perlu apa mbak?” Nuri yang menjawab.
Kemudian tubuhnya berbalik arah, tubuhnya menghadap kerumah itu. Aku hanya bisa menatapnya dari belakang. Tak ada kata yang terucap. Suasana yang menjelang siang itu seakan sunyi tak berbahasa. Panas terik matahari pun mulai menghujam ubun-ubun kami. Peluh pun tak terbendung diwajahku, Nuri dan wanita asing yang belum kami ketahui namanya ini. Sampai akhirnya aku menawarkan untuk ngobrol dirumahku.
“kalau mbak tidak keberatan, singgahlah dulu dirumahku. Aku dan adikku akan bercerita banyak tentang rumah ini, mbak…”. suaraku agak tertahan.
Langsung dengan sigap, Nuri menarik koper wanita itu menuntunnya kerumahku. “mari mbak kerumah saya”. ajakku.
“jangan sungkan mbak, kami tahu persis keadaan rumah ini, nanti kami ceritakan semua”. kata Nuri. “Sekarang kita masuk rumah dulu mbak, matahari sudah mulai menyengat kepala”. sambung Nuri.
Kemudian ia mengikuti kami tanpa ada yang terucap dari mulutnya, yang terlihat hanyalah senyum yang menartikan tanda terima kasih.
“silahkan mbak, jangan sungkan”. Ajakku.
“anggap sajalah rumah sendiri mbak…” kata Nuri sambil tersenyum.
“silahkan duduk mbak, mbak mau minum apa?”. Aku sedikit mulai ingin mengakrabkan diri dengannya.
Ia pun duduk. Tapi, masih terlihat sangat canggung. Maklumlah, dia tak mengenal kami dan kami pun lebih tak mengenalnya.
“jangan repot-repot mbak diberi berteduh saj saya sudah berterima kasih” sahutnya.
“hehehe… gak merepotkan kok mbak. Malah kami senang kedatangan tamu seperti mbak”. Jawabku.
“air dingin aja mbak”. Pintanya.
Akhirnya ia meminta air dingin, sangat sulit untukku percaya kalau dia memintaku hanya air dingin. Sedingin sikapnya pada kami. Ia sama sekali tak berucap kata-kata. Nuri yang menemaninya, sementara aku mengambilkan air minum dingin untuknya. Tidak terdengar percakapan diantara mereka. Sayup sunyi. Dalam benakku masih dihujam jutaan pertanyaan. Siapa sebenarnya wanita itu? Ia sempat meneriakkan namaku dan adikku Nuri didepan gerbang rumah ibu. Atau dia adalah utusan Nita? Ya, mungkin saja. Aku tak akan memulai berbicara kalau ia tak bertanya.
Aku membawa air minum keruang tamu untuk tamu asingku. Entah kenapa aku dan Nuri sama sekali tidak merasa takut dengan kehadirannya. Padahal ia belum kami kenal. Dan satu alasan kami menerimanya sebagai tamu, karna mungkin dia kenal dengan ibu dan kami, anaknya.
“silahkan diminum mbak”. Aku menyuguhkan.
“trima kasih mbak, jadi merepotkan”. Sahutnya sambil meminum. Mungkin dia sangat haus.
“loh, kemana adikku mbak?”. Aku bertanya.
“katanya tadi mau pulang sebentar, mau mengunci rumah”. Jawabnya.
Aku duduk dikursi seberang tempatnya. Aku menatapnya sesekali. “mbak dari mana?”. Aku mulai bertanya padanya.
Nuri masuk rumahku dan langsung duduk disebelah wanita itu. Tanpa kata-kata.
“saya baru pulang dari Amerika, saya baru selesai melaksanakan studi disana”. Ia menjelaskan. “saya kesini untuk pulang”. Lanjutnya.
“pulang?”. Aku terkejut.
“pulang?, mbak pernah tinggal didaerah ini?”. Tanya Nuri dengan nafas yang tersengal, karna ia juga terkejut.
“ya, saya pernah tinggal didaerah ini”. Jawabnya. “siapa nama kalian?” sambungnya.
“aku Dian dan ini Adikku, Nuri namanya”. Jawabku. “nama mbak siapa?”. Aku balik tanya padanya.

No comments:

Post a Comment